SariAgri - Ketersediaan bahan bakar konvensional kian hari semakin menipis. Untuk itu, perlu adanya bahan baku alternatif sebagai pengganti pemenuhan kebutuhan masyarakat akan bahan bakar.
Salah satu sumber bahan baku alternatif yang dikenal yakni etanol. Etanol tersebut biasa diproduksi dari sumber bahan pangan seperti jagung. Walaupun proses produksi bioetanol dari sumber bahan pangan lebih sederhana, namun ketersediaannya tidak akan mencukupi untuk produksi bahan bakar alternatif.
Dosen IPB University dari Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Prof Uju menyebut rumput laut hijau beserta limbahnya berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber bahan produksi bioetanol.
“Dibandingkan dengan sumber bahan dari tanaman darat, proses produksinya lebih murah karena input energi pada proses pre-treatment lebih rendah,” ujar Uju dalam acara Shinnen Suisan Gakkai FFMS-IPB University 2021.
Walaupun prosesnya lebih rumit, lanjutnya, namun tantangan tersebut bisa diakali dengan penggunaan ionic liquid sebagai penghidrolisis selulosanya. Bahkan, efisiensi konversinya melebihi produksi bioetanol berbasis gula sederhana.
Berita Perikanan telah dia uji cobakan pada tahun 2009 sebagai teknologi baru pada proses pre-treatment. Proses pre-treatment sendiri sangat penting karena berguna untuk mendestruksikan lignin dan proses hidrolisis selulosa pada tanaman darat maupun laut.
Keuntungan menggunakan ionic liquid menurutnya, memiliki energi input yang kecil dan ramah lingkungan bila dibandingkan dengan penggunaan asam dan basa.
“Selain itu proses ini terbilang ramah lingkungan karena bisa di-recycle beberapa kali dibandingkan dengan asam atau basa sehingga dikenal sebagai green solvent,” tambahnya.
Uju menjelaskan produktivitas rumput laut bisa mencapai 30 ton per hektare dalam sekali panen. Hal tersebut dikarenakan efisiensi fotosintesisnya yang tinggi sehingga sangat potensial sebagai basis produksi bioetanol.
“Secara konten, pemanfaatan rumput laut sebagai sumber bahan bioetanol sangat menjanjikan dan dapat bersaing dengan tanaman berbasis pangan maupun ligniselulose,” tambahnya.
Bahkan, katanya, karakteristik rumput laut mirip dengan selulosa dan keunggulannya memiliki kristal yang rendah sehingga seharusnya konversi selulosanya lebih tinggi karena lebih mudah dihidrolisis dan dari segi biaya juga cukup bersaing yakni sekitar 0.41 dolar per liter.
Dirinya pun menyebut, tantangan dalam memproduksi rumput laut adalah banyaknya kandungan agar dan karagenan sehingga harus memakai basis selulosa yang terdapat pada hasil limbahnya.
Pemanfaatan limbah tersebut dapat meningkatkan daya saing rumput laut sebagai produk yang bernilai tambah. Adapun pengaplikasiannya harus berdasarkan proses produksi yang terintegrasi.
Hasil penelitian menggunakan limbah karagenan, mengungkapkan bahwa konversi gula yang dihasilkan dapat mencapai 77 persen. Apabila hasil ini diakselerasi dengan ionic liquid dalam proses pre-treatment, dapat berpotensi mencapai keefisienan konversi hingga 95 persen.